Tayang Sampai Saat Ini

Sabtu, 23 Juni 2018

Menghadapi Black Magic dengan Belas Kasih


Om Swastiastu
Om Awignamastu

1] Di alam ini tidak ada pelindung niskala yang lebih kokoh, lebih hebatdan lebih bercahaya dari  
     kekuatan belas kasih.
   
   Ketika kita merasa diserang oleh kekuatan kegelapan, jangan pernah terpancing untuk marah atau 
   takut. Belajarlah untuk bersikap baik hati terhadap kekuatan kegelapan. Sadari secara mendalam, 
   bahwa mereka memasuki kegelapan disebabkan karena mereka ditenggelamkan oleh kesengsaraan. 
  
   Pahami kesengsaraan mereka, kemudian pancarkan cahaya pengertian dan belas kasih mendalam. 
   Dengan cara ini, kita sudah menjadi pembawa cahaya yang menerangi dunia. Jika kita merasa
   dikirimi black magic oleh seseorang, pancarkan cahaya pengertian dan belas kasih mendalam
   kepada orang yang mengirim. Kemudian ucapkan namanya dalam doa dan doakan agar
   perjalanannya selamat. Dalam terangnya cahaya belas kasih mendalam, kegelapan manapun
   pasti akan pudar menghilang.

2] Bhakti mendalam kepada Ista Dewata yang secara karma dekat dengan kita, sebagai pengayom
    dan pelindung utama kita.

   Misalnya [contoh] Dewa Shiwa adalah Ista Dewata kita. Ketika ada bahaya serangan black magic
   atau ada terasa datangnya bahaya yang tidak bisa dijelaskan, lakukan hal sebagai berikut.
   === Cepat melakukan puja sembah di depan simbol-simbol Dewa Shiwa [foto, lukisan, arca, dsb
          nya] dengan penuh keyakinan serta tanpa keraguan.
   === Lakukan dhyanawidhi [memvisualisasikan] kehadiran Dewa Shiwa. Yakini seyakin-yakinnya
          [sraddha bhakti] kalau Dewa Shiwa hadir di hadapan kita.
   === Begitu wajah Dewa Shiwa muncul dalam visual kita, namaskara dengan penuh keyakinan
          ucapkan mantra “Om Namah Shiwaya” [saya berlindung kepada Dewa Shiwa].

   Itulah yang disebut dengan cara penanganan di dalam menghadapi serangan black magic dengan
   jalan belas kasih. Jika kita tulus dan sungguh-sungguh melakukan semua 2 [dua] tindakan tersebut,
   maka apapun bentuk serangan yg datang tidak akan mengenai kita.

Om Santih Santih Santih Om
Disarikan dari,
Sumber : Kalender Bali
Buku : Bali Dwipa, catatan spiritual di tanah sakral

Rabu, 23 Mei 2018

Bayi Rentan Diganggu Makhluk Halus, Ini Alasan dan Solusinya

BALI EXPRESS, DENPASAR –
(bx/adi/yes/JPR) – sumber : Kalender Bali


Menjaga bayi adalah pekerjaan yang gampang-gampang sulit. Oleh karena itu, diperlukan kesabaran dan ketelatenan. Meski demikian, terkadang sebagai pengasuh, terutama orang tua, bisa saja mengalami hal yang membingungkan. Misalnya bayi tiba-tiba menangis tak wajar pada jam-jam tertentu, khususnya tengah malam. Ketika dicek secara medis, ternyata si bayi sehat walafiat. Namun, tetap saja setiap malam si bayi menangis tidak karuan, seperti ketakutan. Bagaimana cara menangkalnya?

Sebagai masyarakat nusantara, khususnya Bali, fenomena semacam itu tak jarang dialami keluarga yang baru dikaruniai seorang anak. Oleh karena itu, bayi orang Bali diperlakukan dengan sangat ketat, terutama dari segi ritual. Perlakuan bayi, ari-ari, dan sang ibu yang baru melahirkan, sangat spesial.

Salah satu akademisi Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Dr. I Made Adi Surya Pradnya atau yang populer dengan nama Jro Dalang Nabe Roby, tak menampik ada kepercayaan masyarakat Bali terhadap fenomena gaib yang terjadi pada bayi. Masyarakat Bali yang lekat dengan budaya religius magis, kata dia, percaya jika bayi rawan diganggu oleh makhluk halus atau orang yang mengamalkan ilmu hitam.

“Dalam Kanda Pat Rare, bayi disebut orang yang masih suci. Jadi, orang yang masih suci menjadi ‘makanan empuk’ dari orang-orang yang mengamalkan ilmu gaib secara negatif,” ujarnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Selasa (30/5/2017) lalu.

Konon, makhluk halus atau orang yang mengamalkan ilmu hitam, lanjutnya, mencium aroma bayi yang baru lahir seperti masakan yang lezat. “Jadi, baunya sangat enak, seperti masakan,” ungkapnya.

Berkenaan dengan hal itu, bayi menurutnya harus mendapat perlakuan ekstra, tak hanya secara medis, juga secara ritual. Tak hanya si bayi, namun berdasarkan ajaran Kanda Pat, seorang lahir ke dunia bersama Catur Sanak atau empat orang saudara. Yang paling tua berwujud fisik yeh nyom (air ketuban) dan dinamakan Anggapati. Kedua berwujud fisik getih (darah) dengan nama Mrajapati. Ketiga berwujud fisik ari-ari (plasenta) dengan nama Banaspati. Sedangkan yang keempat berwujud fisik lamas (lapisan lemak yang membungkus janin) dengan nama Banaspati Raja. Keempat saudara inilah yang dipercaya menemani dan menjaga manusia selama hidupnya, meski kelak tak ada lagi wujud fisiknya, sehingga harus diperlakukan dengan hati-hati.

Salah satu yang biasanya dibawa pulang ke rumah dan dikubur di pekarangan adalah ari-ari. Ari-ari tersebut pun tak sekadar dikubur, namun diberikan ritual dan dijaga dengan berbagai benda, seperti ditutup dengan batu, diberi pandan berduri, dan ditutup dengan keranjang. Bahkan, setiap hari diberikan sesajen dan diberikan penerangan berupa lampu minyak. “Menjaga Sang Catur Sanak ini penting, karena untuk menyerang si bayi, bisa saja melalui nyama patnya,” jelas doktor termuda IHDN tersebut.

Selain itu, biasanya distanakan pula Sang Hyang Kumara di pelangkiran. Seperti yang tercantum dalam mitologi, Sang Hyang Kumara atau Sang Hyang Rare Kumara adalah putra Dewa Siwa yang bertugas menjaga bayi.

Nah, jika segala perlakuan secara medis maupun ritual telah dilaksanakan, namun si bayi menangis setiap sandi kala (pergantian waktu), khususnya pada sore hari menjelang malam atau pada tengah malam, maka tidak menutup kemungkinan ada hal gaib yang mengganggu.

“Bayinya sehat, mengapa menangis terus. Padahal, susu juga sudah diberikan, ternyata tetap menangis. Pasti ada faktor lain,” ujarnya.

Dengan demikian, Jro Dalang Nabe Roby mengatakan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, Sang Hyang Rare Kumara setiap hari harus dibantenin (diberikan sesajen) dan diisi mainan. Demikian pula ari-arinya. “Apabila si bayi masih menangis setiap jam 12 malam, maka perlu dibuatkan segehan kepelan berisi nasi wong-wongan yang dihaturkan di bawah tempat tidur si bayi. Itu dihaturkan sebagai upah, agar tidak si bayi yang diganggu,” paparnya.

Selanjutnya, ia mengatakan, ada cara lainnya, yakni dengan air klebutan atau air yang diambil dari mata air langsung atau sumur. Selanjutnya air tersebut dilemparkan ke atap dapur dan air yang jatuh ditadah dengan kukusan dan diwadahi panci tanah liat.

“Air tersebut kemudian dipercikkan sebagai tirtha kepada bayi. Itu panugerahan Brahma Geni. Jadi, itu yang dipakai ngeseng (membakar) energi negatif,” jelasnya.

Selain itu, Jro Dalang mengatakan, perlu juga pengecekan pekarangan. “Sebelum bayi dibawa ke rumah, rumah harus dibersihkan dahulu. Terutama di panunggun karang, harus ngatur piuning dan menyampaikan bahwa akan ada anak kecil di rumah itu dan agar ikut menjaga,” bebernya.

Dari semua itu, ia menegaskan, yang paling penting untuk menenangkan bayi adalah sentuhan dan pelukan seorang ibu. Tidak bisa dipungkiri, antara bayi dan ibu ada ikatan jiwa dan emosional yang sangat kuat. “Jadi, sentuhan dan pelukan seorang ibu sangatlah penting,” tandasnya.



Senin, 16 April 2018

Ini Pentingnya Otonan dan Begini Doa-Doanya

Sumber :
BALI EXPRESS, DENPASAR

Otonan atau hari kelahiran dalam weton Bali, seringkali dianggap sepele dan tidak dilaksanakan. Padahal, ‘ulang tahun’ yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali ini, sangat penting dengan rerentetan banten dan maknanya.

Setiap tahun kita semua merayakan ulang tahun pada tiap tanggal kelahiran. Namun, di Bali juga memiliki prosesi ritual untuk memperingati hari kelahiran. Dalam penanggalan Bali, weton tersebut biasanya jatuh setiap enam bulan sekali.


Sulinggih asal Mengwi, Ida Pandita Mpu Putra Yoga Parama Daksa, mengatakan, dalam Lontar Jyotisha dan Pawacakan disebutkan, pada saat weton kelahiran wajib mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan, atas diberinya kesempatan sang atman untuk dapat bereinkarnasi kembali. “Otonan itu berasal dari bahasa Jawa kuna dari kata weton dan berubah konsonan menjadi oton yang artinya lahir atau menjelma,” urai Ida Pandita Mpu Putra Yoga Parama Daksa kepada Bali Express (Jawa Pos Group), pekan kemarin.

Nah, berdasarkan apa hari kelahiran ini? ” Dalam tradisi Hindu di Bali, menentukan Otonan harus menggunakan sapta wara, panca wara, dan wuku. Jadi, tidak bisa sembarangan, karena semua itu sangat memengaruhi perilaku serta jalan hidup seseorang,” ujarnya.

Secara etimologi, lanjutnya, Otonan adalah hari kelahiran bagi umat Hindu yang datang dan diperingati setiap 210 hari sekali. Dalam lontar Pawacakan, Otonan memiliki makna mensyukuri, wara nugraha. “Kita diberikan anugerah dalam bentuk kesempatan untuk bereinkarnasi kembali membayar karma. Dalam upacara piotonan, terdapat byakala atau prayascita yang fungsinya untuk menyucikan diri, melenyapkan kekotoran batin, menjauhkan diri dari gangguan Bhutakala,” paparnya.

Diakuinya, prosesi Otonan ada kaitannya dengan catur sanak, sebagai simbolisasi atas rasa syukur. “Kita lahir ke dunia bersama empat saudara, yaitu darah, ketuban, placenta, dan ari – ari. Lewat Otonan kita berbagi dan mengingat mereka. Lalu bersyukur pada Tuhan atas hidup yang telah diberikan,” ujarnya. Dalam Otonan, beberapa perlengkapan upakara yang dapat digunakan adalah banten pajati, banten dapetan, sesayut pawetuan, dan segehan. “Banten pajati dihaturkan kepada Bhatara Guru di rong telu, sesayut pawetuan dihaturkan kepada yang manumadi atau numitis. Dan, segehan dihaturkan di bawah kepada Bhutakala,” ujarnya.

Mantram dan Doa Saat Otonan

Mantram Mabyakala atau Byakaon :
Om shang bhuta nampik lara sang bhuta nampik rogha, sang bhuta nampik mala, undurakna lara roga wighnanya manusanya. Om sidhirastu Yanama Swaha.

Sesayut Bayu Rauh Sai:
Om sanghyang jagat wisesa,
metu sira maring bayu, alungguh maring bungkahing adnyana sandi
Om Om sri paduka guru ya namah. Om ung sanghyang antara wisesa, metu sira maring sabda,

Mantram Matebus Benang:
Om angge busi bayu premana maring angge sarire


Mantram Masesarik:
Kening : Om sri sri ya nama swaha.
Bahu kanan : Om anengenaken phala bhoga ya nama swaha.
Bahu kiri : Om angiwangaken pansa bhaya bala rogha ya nama swaha.
Telapak tangan : Om ananggapaken phala bhoga ya nama swaha.